Ibumu Tidak Tergantikan


Tadi malam saya membuat kultwet pendek di twitter tentang ibu. Setelah itu ada SMS masuk di handphone saya, isinya “Mas Jamil mungkin bisa berterima kasih dan menangis saat bicara ibu. Kalau saya sama sekali tidak, ibu tidak berjasa apapun dalam hidup saya. Dia hanya melahirkan, setelah itu saya dicampakkan.”
Mendapat SMS itu, kultwet saya hentikan karena tiba-tiba saya kehilangan ide. Saya tertegun kemudian merenung. Menurut saya, jasa terbesar seorang ibu adalah saat terjadinya pembuahan sel telur oleh sperma sang suami dan kemudian ia hamil selama kurang lebih 9 bulan. Jasa orang tua, khususnya ibu dalam hal ini, tidak bisa tergantikan dengan apapun dan oleh siapapun.
Mengapa tidak tergantikan? Karena dari proses itulah kita berkesempatan terlahir ke dunia, menikmati keindahan dunia dan kelak mendapat peluang untuk bisa hidup abadi di surga. Bandingkan nasib kita dengan trilyunan sperma lain di dunia yang tidak menjadi apa apa, bahkan kemudian dibuang ke tempat yang kotor, tidak tahu keindahan dunia dan yang pasti tidak berkesempatan untuk bisa menikmati kehidupan di surga.
Jadi, jasa ibu kita yang terbesar adalah saat kita dalam kandungan bukan saat kita berada di dunia. Seandainya, setelah melahirkan kemudian ibu pergi dan menyerahkan pendidikan kita kepada nenek, panti asuhan atau diberikan kepada saudara, jasa ibu tetap tidak akan tergantikan. Peranan ibu yang hanya kurang lebih sembilan bulan itu tidak mungkin Anda balas dengan apapun. Jadi, tidak ada alasan sedikitpun untuk tidak hormat atau mencintai seorang ibu.
Apalagi bila Anda memiliki seorang ibu yang merawat kemudian membesarkan dengan penuh cinta, sangat tidak layak jika Anda tidak berusaha keras untuk membahagiakannya. Ketahuilah, walau Anda menghajikan ibu ke Tanah Suci, kemudian Anda menggendongnya sejak keberangkatan hingga kepulangan, itu amatlah kecil dibandingkan dengan jasa dan kasih sayangnya.
Walau seluruh ucapan terima kasih di dunia dijadikan satu, kemudian kita persembahkan kepada ibu, itu tidak akan cukup menggantikan kasih sayangnya. Saat ibu sudah renta dan kita mengerahkan semua energi dan cinta untuk merawatnya, itu juga tidak cukup membalas cinta dan perhatiannya. Walau setiap hari kita berdoa untuknya, itu juga tidak cukup menggantikan doa-doanya untuk kita  yang terucap dari mulutnya.
Maka, sungguh durhaka bila kata yang terucap dari mulut kita itu melukai hatinya. Sungguh tidak tahu diri, bila kita keberatan merawatnya saat ia sudah tua. Sungguh kita tak tahu balas budi bila hanya sekedar berdoa untuk ibu pun kita sudah tidak punya waktu. Sungguh terlalu bila ia sakit dan merindukan kehadiran kita, namun kita masih menyiapkan seribu alasan untuk tidak menemaninya.
Bila yang seperti itu yang terjadi, masih pantaskah kita kelak berharap hidup di surga? Bukankah surga berada di telapak kaki ibu? Oh ibu, aku benar-benar mengharap ridhomu…
ini artikel saya copy paste dari inspirator saya , jamil azis , semoga menggugah hati anda

0 komentar:

Posting Komentar